Kenapa Tari Panji Semirang Harus Dilestarikan? Ini Alasannya!

Saya ingat pertama kali melihat Tari Panji Semirang itu waktu ikut rombongan seni dari sekolah ke Bali. Waktu itu saya masih baru banget belajar tentang seni pertunjukan, jadi bener-bener kayak anak kecil masuk toko permen—terpukau. Di salah satu acara di Gianyar, saya lihat seorang penari perempuan bergerak anggun tapi tegas, kostumnya mencolok dengan hiasan kepala yang tinggi, matanya tajam… tapi kok gerakannya seperti lelaki?

Ternyata, itu bukan tarian biasa. Itulah Culture Tari Panji Semirang, sebuah tarian klasik Bali yang mengangkat kisah Raden Galuh Candrakirana yang menyamar sebagai laki-laki. Gila ya, belum apa-apa saya udah merinding. Dari situ, saya jadi penasaran: kenapa tari ini begitu magis? Dan kenapa nggak setenar Legong atau Kecak?

Seiring waktu, saya belajar makin banyak tentang tari ini. Mulai dari filosofi, sejarah, sampai teknik geraknya. Dan sekarang, saya pengen berbagi semuanya—biar lebih banyak orang tahu, dan semoga juga ikut bantu melestarikannya .

Keindahan Tari Panji Semirang yang Nggak Cuma Sekedar Gerakan

Panji Semirang and the Golden Doll - NOW! Bali

Kalau kita ngomongin keindahan Tari Panji Semirang, kita gak bisa lepas dari kisah yang dibawakannya. Ini bukan cuma tarian yang indah buat ditonton, tapi sarat makna. Tari ini mengangkat cerita dari kisah Panji, yang berasal dari Jawa Timur, tapi berkembang dan diadaptasi dalam budaya Bali. Jadi ini semacam penggabungan nilai budaya Jawa dan Bali dalam satu paket seni yang powerful Detikcom.

Yang unik adalah, meskipun ditarikan oleh perempuan, karakter yang ditampilkan adalah sosok laki-laki, karena Candrakirana menyamar sebagai Raden Panji. Maka dari itu, gerakannya tegas, berani, dan kuat—beda dari tari Bali lain yang cenderung lemah gemulai. Ada semacam ambiguitas gender di sini, tapi justru itu yang bikin menarik banget.

Waktu saya coba mempelajarinya (iya, saya nekat ikut pelatihan singkat waktu di Denpasar), saya baru ngerasain betapa susahnya menyesuaikan ekspresi wajah, mata, jari, dan langkah secara serempak. Belum lagi kostumnya yang lumayan berat. Tapi serius, setelah sekali berhasil melakukan satu babak penuh, rasanya kayak baru nyelesaiin game level hard. Capek, tapi puas banget.

Dan ya, kostum tari Panji Semirang itu sendiri adalah keindahan lain. Hiasan kepala tinggi, gelungan, dan kostum warna emas-merah atau hijau cerah menambah aura megah. Kalo kata temen saya yang fotografer, ini “fotogenik banget dan punya nilai estetika klasik tinggi.”

Kenapa Tari Panji Semirang Harus Dilestarikan?

Nah, ini poin penting. Saya yakin banget kita semua sepakat bahwa kebudayaan itu identitas. Dan Tari Panji Semirang itu bukan sekadar bentuk pertunjukan—dia adalah cerita, sejarah, dan nilai-nilai yang diwariskan turun-temurun.

Tapi sayangnya, tarian ini nggak seterkenal Legong atau Barong. Banyak generasi muda (termasuk saya dulu) yang bahkan gak pernah dengar namanya. Saya pernah ngobrol sama seorang seniman Bali senior, beliau bilang bahwa Panji Semirang mulai jarang dipentaskan karena butuh skill tinggi dan pemahaman cerita yang kuat. “Anak muda sekarang lebih milih tari modern atau K-pop dance,” katanya sambil senyum pahit.

Buat saya, pelestarian itu bukan cuma soal menjaga tarian ini tetap hidup. Tapi juga menjaga ruang dialog antara masa lalu dan masa kini. Lewat tari ini, kita bisa belajar banyak tentang peran perempuan, keberanian, identitas, bahkan soal gender.

Saya sempat diskusi sama anak didik saya yang tertarik dengan isu gender dan seni. Menurut dia, Tari Panji Semirang bisa jadi sarana edukasi keren buat bahas performa gender dalam seni tradisional. Dan saya setuju banget. Jadi, selain keindahan visual, ada juga nilai edukatif dan kritis yang bisa digali.

Tips Belajar Tari Panji Semirang: Dari Niat Sampai Latihan

Tari Panji Semirang: Perpaduan Tradisi, Cinta, dan Keteguhan Hati - Teleanalysis

Saya bukan penari profesional, tapi setelah sempat ikut kelas singkat dan ngobrol dengan beberapa guru tari Bali, saya punya beberapa tips buat kamu yang pengen belajar Tari Panji Semirang, baik buat hobi, penelitian, atau pelestarian budaya.

  1. Pahami dulu ceritanya.
    Jangan asal gerak. Tari Panji Semirang punya narasi kuat, dan setiap gerakan punya makna. Kalau gak ngerti cerita Candrakirana, kamu bakal kesulitan menjiwai geraknya.

  2. Belajar sama guru tari Bali langsung.
    Kalau bisa ke Bali, datang ke sanggar tari yang terpercaya. Di Gianyar, Denpasar, atau Ubud banyak sanggar yang buka kelas, bahkan untuk pemula luar daerah. Cari yang sabar ngajarin ya, karena ini nggak mudah.

  3. Jangan malu berlatih di depan cermin.
    Ini yang paling saya suka: latihan ekspresi. Tari Bali itu ekspresif banget, dan mata jadi kunci utama. Serius, latihan memelototkan mata sambil tersenyum itu susah banget awalnya—tapi seru.

  4. Fisik harus siap.
    Latihan tari itu kayak olahraga. Gerakan tegas, posisi kuda-kuda, dan konsistensi tubuh bikin badan pegal-pegal. Tapi jangan mundur. Otot butuh waktu buat adaptasi.

  5. Tonton pementasan asli.
    Belajar dari YouTube itu oke, tapi nonton langsung di panggung lebih terasa auranya. Kadang saya sampai mewek lihat penari Panji Semirang tampil penuh totalitas di Pesta Kesenian Bali.

Tari Panji Semirang di Mata Pecinta Seni

Dari obrolan dan pengamatan saya selama beberapa tahun terakhir, Tari Panji Semirang punya tempat spesial di hati seniman dan peneliti seni pertunjukan. Meski belum mainstream, tapi dianggap sebagai salah satu karya adiluhung karena kekayaan gerak dan narasinya.

Salah satu dosen saya dulu pernah bilang, “Tari Panji Semirang itu kompleks, bukan cuma dari teknik tapi dari konteks. Ini bukan cuma karya seni, tapi pernyataan budaya.” Dan saya baru paham itu setelah benar-benar menyelaminya.

Ada juga beberapa teman saya yang bikin proyek dokumenter atau skripsi tentang tarian ini. Menurut mereka, tari ini cocok banget buat dijadikan bahan eksplorasi karena mengandung isu identitas, peran gender, sejarah lokal, dan ekspresi visual yang unik.

Beberapa pementasan modern bahkan menggabungkan Tari Panji Semirang dengan teknologi proyeksi dan musik eksperimental. Saya pernah nonton satu versi kontemporer di acara seni di Jakarta—awalnya skeptis, tapi ternyata keren juga. Meski tetap, buat saya versi klasik tetap paling magis.

Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi?

Saya nulis ini bukan karena saya penari hebat, bukan juga ahli budaya. Saya cuma seseorang yang pernah jatuh cinta pada sebuah pertunjukan dan gak pengen cinta itu hilang ditelan zaman.

Tari Panji Semirang bukan cuma pertunjukan indah. Dia adalah kisah perjuangan, penyamaran, keberanian, dan identitas yang dibungkus dalam estetika khas Bali. Dia punya cerita yang kuat dan suara yang harus didengar—tapi hanya bisa terdengar kalau kita bantu menyuarakannya.

Buat kamu yang lagi nyari konten blog yang otentik, meaningful, dan punya kontribusi sosial-budaya, mungkin kamu bisa mulai dengan cerita seperti ini. Bagikan pengalamanmu, pelajari lebih dalam, dan ajak audiens kamu buat peduli.

Karena pada akhirnya, menjaga budaya itu gak harus jadi seniman besar atau budayawan. Cukup jadi orang yang gak lupa dan mau bercerita.

Baca juga artikel menarik lainnya tentang Tari Remo dan Identitas Jawa Timur: Lebih dari Sekadar Hiburan disini