Kampanye Anti Bullying, Kalau lo tanya ke gue, “Pernah nggak sih dibully?” jawabannya: iya. Dan itu bukan cuma sekali. Dulu waktu SMP, gue pernah jadi bahan ejekan cuma karena suara gue lebih halus dari teman-teman cowok lainnya. Dipanggil nama-nama aneh, diketawain kalau ngomong, bahkan ada yang suka niru-niru suara gue di depan kelas.
Awalnya gue mikir itu cuma bercanda. Tapi makin lama, perasaan nggak nyaman itu numpuk. Pulang sekolah gue sering nangis sendiri, kadang pura-pura sakit biar nggak masuk. Dan yang paling menyakitkan adalah… nggak ada yang bener-bener peduli. Bahkan guru pun kadang cuma bilang, “Sudahlah, dibawa santai aja.”
Padahal, itu bukan hal sepele.
Kampanye Anti Bullying Itu Bukan Sekadar Lelucon yang Kebangetan
Kampanye Anti Bullying Bukan Trend—Ini Kebutuhan
Beberapa tahun terakhir, gue seneng banget lihat makin banyak sekolah, komunitas, bahkan influencer yang angkat suara soal bullying. Tapi sayangnya, masih banyak juga yang anggap ini cuma trend. Kayak sekadar tema acara satu hari terus lupa lagi besoknya.
Padahal, efek bullying itu bisa lama banget. Nggak kelihatan dari luar, tapi menghantui sampai bertahun-tahun. Self-esteem hancur, kepercayaan diri hilang, bahkan ada yang trauma sosial.
Makanya gue tulis ini, bukan buat cari perhatian, tapi buat ngajak kita semua untuk ambil bagian dalam kampanye anti bullying. Karena ini bukan kerjaan satu orang atau satu institusi aja. Ini kerja bareng kita semua.
Bentuk Bullying Itu Banyak, dan Kadang Nggak Kita Sadari
Banyak orang mikir bullying itu cuma kalau ada kekerasan fisik. Padahal, verbal dan emosional bahkan bisa lebih menyakitkan. Gue pernah lihat temen gue dijauhi sekelas cuma karena dia punya jerawat parah. Ada juga yang jadi sasaran meme lucu di grup WhatsApp sekolah, padahal dia nggak pernah diminta izin.
Ada yang bahkan nggak sadar kalau dirinya sedang membully, karena merasa itu “cuma bahan bercanda.” Tapi justru karena itu dilakukan terus-menerus dan di depan banyak orang, dampaknya jauh lebih besar.
Beberapa bentuk bullying yang umum terjadi:
Mengejek penampilan
Memberi julukan yang menyakitkan
Mengasingkan atau menjauhi seseorang secara kolektif
Menyebarkan gosip atau rumor
Mengancam atau mengintimidasi
Mengomentari kehidupan pribadi di media sosial secara negatif
Satu Kalimat Bisa Menyembuhkan, Tapi Bisa Juga Melukai Selamanya
Ada satu kejadian yang gue nggak pernah lupa. Waktu itu, gue lagi sedih banget karena habis diledekin. Seorang guru muda di sekolah gue datang dan bilang pelan, “Kamu tahu nggak? Suara kamu unik. Nggak semua orang punya suara kayak gitu. Kamu bisa manfaatin itu buat hal baik nanti.”
Gue masih inget kata-kata itu sampai sekarang. Karena setelah sekian banyak ejekan, itu satu-satunya kalimat yang bikin gue merasa berharga.
Dan sejak saat itu, gue pelan-pelan belajar berdamai. Nggak langsung berubah jadi berani. Tapi gue mulai percaya, bahwa gue nggak seburuk yang mereka bilang.
Bayangin kalau kita semua bisa jadi suara positif itu buat orang lain. Bukan cuma diam saat lihat teman dibully, tapi juga berani bilang, “Lo nggak sendirian.”
Kampanye Anti Bullying Itu Harus Nyampe ke Hati, Bukan Cuma Diucapkan
Banyak sekolah bikin kampanye anti bullying sebagai formalitas. Ada spanduk, seminar, kadang lomba poster. Tapi setelah acara selesai, praktik di lapangan masih sama.
Menurut gue, kampanye yang efektif itu harus menyentuh sisi emosional. Misalnya:
Menghadirkan penyintas bullying untuk berbagi cerita
Simulasi kasus dan diskusi kelas, bukan cuma ceramah
Forum terbuka buat siswa cerita tanpa takut dihakimi
Pelatihan empati untuk guru dan siswa
Peran aktif OSIS atau teman sebaya sebagai pengawas informal
Kita nggak butuh slogan keren. Kita butuh perubahan nyata dalam sikap.
Media Sosial: Tempat Paling Subur Sekaligus Berbahaya untuk Bullying
Dulu bullying mungkin terbatas di sekolah. Tapi sekarang? Media sosial jadi lahan yang lebih ganas. Komentar jahat, body shaming, hinaan anonim, semua bisa terjadi dalam hitungan detik.
Gue pernah lihat teman gue yang badannya gemuk bikin video dance TikTok. Niatnya senang-senang. Tapi yang dia dapet? Komentar jahat, emoji muntah, dan duetin yang ngeledek.
Gue inget banget dia bilang, “Ternyata bikin konten itu bukan buat semua orang. Kalau lo beda, siap-siap jadi bahan cemoohan Siloam Hospital.”
Dan itu bikin gue sadar—kampanye anti bullying juga harus menyasar digital behavior. Kita harus ajarin generasi sekarang untuk:
Pikir sebelum komentar
Report, bukan retweet konten jahat
Support, bukan diam saat lihat ada yang diserang
Gue Pernah Jadi Penonton Diam, dan Itu Nggak Bikin Gue Bangga
Jujur aja, dulu gue pernah lihat temen dibully dan gue nggak ngelakuin apa-apa. Gue takut kalau gue bantu, gue juga bakal kena. Tapi sekarang, setelah ngerti dampaknya, gue nyesel banget.
Makanya sekarang, gue selalu bilang ke adik gue dan temen-temen lain: jangan diam. Karena saat kita diam, kita ikut memperkuat pelaku.
Lo nggak harus langsung hadapin pelakunya. Tapi lo bisa:
Ngajak korban ngobrol dan kasih dukungan
Ceritain ke guru atau orang dewasa
Kasih edukasi ke teman lain soal bahaya bullying
Kebaikan kecil bisa bikin perubahan besar.
Gue Sekarang Lebih Kuat, Tapi Nggak Mau Orang Lain Harus Lewatin Luka yang Sama
Pengalaman dibully memang menyakitkan. Tapi itu juga yang bikin gue sekarang punya empati lebih besar. Gue jadi lebih peka, lebih hati-hati saat bercanda, dan lebih pengen jadi tempat aman buat orang lain.
Makanya gue dukung 100% segala bentuk kampanye anti bullying. Baik itu di sekolah, kantor, lingkungan sosial, bahkan di keluarga sendiri.
Karena Kampanye Anti Bullying bisa terjadi di mana saja, dan pencegahannya pun harus dari mana saja.
Kalau Lo Ngerasa Pernah Jadi Korban, Ini yang Mau Gue Bilang ke Lo Sekarang
Lo berharga. Lo nggak sendiri. Luka lo valid, dan lo nggak salah karena jadi berbeda.
Lo punya tempat di dunia ini, dan suatu saat nanti, lo akan sadar bahwa semua ejekan yang lo terima… bukan cerminan dari siapa lo sebenarnya, tapi dari ketidaktahuan orang lain.
Dan buat lo yang mungkin pernah membully orang lain, sadarilah—nggak ada kata terlambat buat minta maaf dan berubah.
Kampanye Anti Bullying Harus Jadi Gerakan Hati, Bukan Hanya Seruan Sekali
Gue percaya, kampanye anti bullying bisa jadi awal dari perubahan besar. Tapi itu cuma bisa tercapai kalau kita semua mulai dari diri sendiri.
Gue udah ngerasain sendiri dampaknya. Dari orang yang tadinya takut bicara, jadi orang yang bisa cerita dan nulis kayak sekarang. Dan semua itu dimulai dari satu kalimat dukungan.
Mari kita sama-sama jadi suara baik itu. Biar nggak ada lagi anak yang pulang dari sekolah dengan hati terluka. Biar semua orang merasa aman jadi diri sendiri.
Karena dunia yang lebih ramah, dimulai dari kita.
Baca Juga Artikel dari: Penyakit Sapi Terbaru: Ancaman Serius untuk Peternak Indonesia
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Healthy