Kita mulai dari satu cerita tentang Ritus Pasola. Waktu itu saya baru pertama kali menginjakkan kaki di Sumba. Nggak tahu kenapa, tapi ada sesuatu yang magis di udara tentang culture ini. Angin berhembus pelan, rumput savana bergoyang halus, dan para warga lokal menyambut dengan senyum hangat. Tapi bukan itu yang bikin saya terdiam—yang bikin saya takjub adalah satu kata: Pasola.
Saya pikir awalnya Pasola itu semacam festival biasa. Ternyata saya salah besar. Ini bukan sekadar acara budaya, ini adalah ritus, ritual suci yang sakral banget buat masyarakat Sumba. Bahkan sampai ada kepercayaan kalau ritual ini nggak boleh sembarangan ditonton, apalagi tanpa pemahaman.
Nah, artikel ini saya tulis dari sudut pandang pengalaman pribadi saya yang merasa “bodoh banget” waktu pertama tahu Ritus Pasola , tapi justru dari ketidaktahuan itulah saya jadi belajar dan merasakan betapa dalam makna di balik tradisi ini.
Apa Itu Ritus Pasola?
Kompas Jujur ya, awalnya saya kira Ritus Pasola itu kayak pertunjukan kuda lumping, ada orang naik kuda lalu saling lempar lembing. Tapi ternyata lebih dari itu. Ritus Pasola adalah upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Sumba, tepatnya oleh etnis Sumba Barat dan Sumba Barat Daya.
Ritual ini dilakukan dengan cara dua kelompok pria menunggangi kuda dan saling melempar lembing kayu (bukan besi, walau tetap bisa bikin luka). Yang bikin merinding, darah yang keluar dari tubuh peserta itu dipercaya sebagai bentuk penyucian tanah agar subur dan membawa hasil panen melimpah. Serem? Iya. Sakral? Banget.
Tradisi ini dilangsungkan sekitar bulan Februari atau Maret, menyesuaikan dengan perhitungan kalender adat Marapu, agama leluhur masyarakat Sumba. Jadi waktunya gak pasti, tergantung dari penampakan bulan dan hasil ritual sebelumnya.
Dan yang paling penting, Ritus Pasola bukan tontonan semata. Ini ritual spiritual, bentuk penghormatan terhadap leluhur, dan simbol rekonsiliasi antar masyarakat.
Keindahan Seni dalam Ritus Pasola
Saya gak bohong, waktu pertama nonton Ritus Pasola , jantung saya deg-degan. Bukan cuma karena orang-orang saling lempar lembing dari atas kuda yang melaju kencang, tapi karena visualnya itu… luar biasa indah.
Bayangin deh, padang rumput hijau luas, langit biru cerah, dan puluhan pria mengenakan kain tenun ikat khas Sumba, mengendarai kuda dengan penuh semangat. Gerakan mereka terkoordinasi, seperti tarian. Lembing melayang di udara, kuda berlari zigzag, penonton bersorak. Ini bukan cuma perang-perangan, ini seni yang hidup.
Salah satu hal yang paling bikin saya terkesan adalah tenun ikat yang mereka kenakan. Tiap motif punya cerita, dan biasanya diwariskan turun-temurun. Jadi selain keindahan visual, di balik Pasola juga ada ekspresi identitas dan nilai artistik yang tinggi banget.
Saya sempat ngobrol sama salah satu tetua adat di sana. Katanya, gerakan para penunggang itu bukan sembarangan. Ada yang namanya “kuda roh” — kuda yang dipercaya membawa kekuatan leluhur. Gerakannya dianggap membawa energi spiritual.
Dari Mana Asal Ritus Pasola?
Pasola itu berasal dari Pulau Sumba, lebih tepatnya di daerah Kodi, Wanukaka, Lamboya, dan Gaura di bagian barat pulau. Masing-masing wilayah ini punya versi Pasola-nya sendiri, tapi semuanya merujuk pada nilai dan struktur yang mirip: ritual pengorbanan, perang simbolik, dan upacara adat yang melibatkan seluruh masyarakat.
Saya datang ke daerah Wanukaka, yang katanya merupakan salah satu lokasi Pasola yang paling “keras.” Bukan keras dalam artian brutal aja, tapi keras dalam makna tradisi: nggak bisa diganggu gugat. Semua tahapan ritual harus dijalankan dengan disiplin dan penghormatan.
Asal-usul Pasola ini juga erat kaitannya dengan kisah cinta dan pengkhianatan, lho. Ada legenda yang bilang bahwa ritual ini awalnya dilakukan untuk menyambut kembalinya seorang wanita yang kabur dari suaminya dan akhirnya kembali ke kampung. Tapi karena dia pulang dengan pria lain, terjadilah konflik, dan akhirnya diselesaikan lewat “perang lembing” yang kita kenal sekarang sebagai Pasola.
Gila, kan? Dari cinta jadi tradisi berdarah!
Mengapa Ritus Pasola Begitu Dijaga?
Oke, ini bagian yang paling menyentuh menurut saya. Kita hidup di zaman di mana segalanya bisa ditiru dan dikomersialisasi. Tapi Pasola? Enggak.
Ritus ini dijaga karena mengandung nilai spiritual, sosial, dan ekologis yang gak bisa digantikan. Bagi masyarakat Sumba, Pasola bukan cuma acara tahunan. Ini adalah bentuk komunikasi dengan leluhur, bentuk penyeimbang hubungan manusia dengan alam, dan juga bentuk kontrol sosial.
Kalau darah mengalir di Pasola, itu bukan karena kekerasan. Itu simbol pembersihan, pengorbanan yang dibutuhkan agar kehidupan bisa terus berjalan. Kayak dalam filsafat, kadang kita harus “kehilangan” sesuatu buat dapatkan harmoni.
Waktu saya tanya ke salah satu mama-mama tua di kampung, kenapa harus tetap diadakan meskipun berbahaya, dia jawab, “Kalau tidak, tanah akan marah. Kita bisa lapar tahun depan.”
Jawaban itu bikin saya mikir. Di balik semua tampilan brutal, ada kearifan lokal yang dalam banget.
Tips Praktis untuk Mengikuti atau Menyaksikan Ritus Pasola
Kalau kamu niat ke Sumba buat nonton Pasola, tolong ya, jangan asal datang. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Tanya dan Hormati Adat Setempat
Jangan main foto-foto aja. Ada beberapa bagian ritual yang gak boleh direkam. Waktu saya datang, saya hampir ngerekam prosesi pemanggilan roh—eh, langsung ditegur. Malu banget.
2. Gunakan Pemandu Lokal
Jangan modal Google Maps doang. Pemandu lokal bisa kasih info akurat soal waktu dan lokasi, karena Pasola gak punya jadwal tetap. Saya sempat nunggu 3 hari karena salah info.
3. Jangan Berdiri Terlalu Dekat
Lembing itu beneran dilempar. Saya pernah lihat turis berdiri terlalu dekat dan hampir kena! Untung cuma nyangkut di ranting.
4. Kenakan Pakaian yang Sopan
Ingat, ini ritual sakral. Pakaian terlalu terbuka bisa dianggap tidak sopan.
5. Belajar Sedikit Bahasa Lokal
Ucapan sederhana seperti “Tabe” (permisi) bisa bikin kamu diterima dengan lebih hangat. Warga Sumba itu ramah banget, asal kamu sopan.
Pelajaran yang Saya Petik dari Ritus Pasola
Saya pulang dari Sumba dengan banyak pikiran. Bukan cuma tentang budaya, tapi tentang cara hidup.
Pasola ngajarin saya bahwa gak semua yang terlihat keras itu negatif. Kadang, luka itu perlu untuk menyembuhkan. Bahwa darah bukan selalu tentang kekerasan, tapi tentang pengorbanan. Dan bahwa hidup itu soal menjaga keseimbangan—antara manusia, alam, dan yang ilahi.
Saya juga jadi sadar pentingnya melestarikan budaya, bukan karena itu “unik”, tapi karena itu adalah identitas. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar festival atau pertunjukan.
Pasola Itu Lebih dari Sekadar Tradisi
Buat kamu yang penasaran, silakan datang ke Sumba dan saksikan sendiri. Tapi datanglah dengan hati yang terbuka, rasa hormat, dan keinginan untuk belajar. Jangan sekadar cari foto Instagramable. Karena Pasola itu bukan untuk ditonton, tapi untuk direnungkan.
Ritus ini adalah harta karun budaya Indonesia yang gak ternilai. Kalau kita bisa menghargainya, mungkin kita juga bisa lebih menghargai keberagaman dan kedalaman nilai di tanah air kita.
Kalau ada satu hal yang gak akan pernah saya lupakan dari pengalaman Pasola, itu adalah perasaan terhubung—dengan orang lain, dengan tanah, dan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri saya sendiri.
Baca juga artikel menarik lainnya tentang Pimientos de Padrón: Camilan Pedas Manis dari Galicia disini